Saya Lelah...
Camus…kita
nggak usah bersahabat lagi ya… Saya lelah….
Selama ini saya yang
selalu banyak bicara, sementara kamu enggak.
Saya sering tertawa, tapi kamu lebih banyak diam.
Kalau tersenyum pun bisa dihitung dengan jari.
"Saya
juga lelah karena saya sering sekali menangis buat kamu. Air mata
saya rasanya sudah kering… Kamu selalu membuat saya sedih, membuat
saya tergugu… Karena di saat kamu sedih saya juga merasakan hal
yang sama.
Saya ingin sekali-kali tidak peduli dengan keadaan kamu,
dengan perasaan kamu.
Tapi saya nggak bisa….
Jalan satu-satunya
supaya saya bisa berhenti menangis demi kamu adalah dengan tidak
bersahabat dengan kamu lagi.
"Saya
akan berusaha melupakan kalau kamu adalah bulir salju yang selalu
menyejukkan saya…yang telah mengajari saya bagaimana menyayangi.
Saya akan melupakan masa kecil kita dulu, di saat saya membagi jatah
makanan saya sewaktu kamu merasa lapar…. Saya ingat saat itulah
kamu tersenyum pada saya untuk pertama kalinya…
Pendeknya
kita bertemu hanya untuk berpisah.
Kamu dan saya begitu
kontras…begitu berbeda. Saya lilin dan kamu salju…bila saya terus
berada di sisi kamu…saya takut saya akan meredup, padam, dan
akhirnya menjadi tiada…karena terkadang kamu berubah, menjadi badai
yang teramat dingin…sementara saya hanyalah sebatang lilin yang
akan lenyap ditelan angin.
"Saya
terlalu menyayangi kamu…selama ini selalu mengatakannya pada kamu.
Kamulah sahabat saya dan hanya kamu. Dan saya menunggu, terus
menunggu kamu mengatakan hal yang sama. Kalau kamu menyayangi saya
juga…
Tapi penantian itu akhirnya hanya menjadi sebuah penantian.
Karena kamu hanya diam…
"Dan
akhirnya…sebaiknya kita nggak bersahabat lagi. Maafkan saya karena
selama ini saya hanya bisa bikin susah. Saya tidak pernah bisa
membuat kamu bahagia. Walaupun hal yang paling saya inginkan adalah
melihat kamu tersenyum dan tertawa…lepas, tanpa beban.
"Saya
tetap bukan sahabat yang tepat untuk mendampingi kamu…"
"Jadi
selamat tinggal…bulir salju yang selalu mewarnai hatiku…"
"Milo,
lagi ngerjain apa?"
Camus
tiba-tiba muncul di dekatnya. Milo segera menyeka matanya dan
menyembunyikan surat itu.
"…enggak…bukan
apa-apa."
Camus
mengeryitkan dahi sedikit, tapi dia tidak ambil pusing. Mungkin
surat cinta.
"Ngapain
ke sini?" Milo bertanya.
"Emang
biasanya saya ke sini, kan?"
"Tapi
kan nggak sering."
"Cerewet,"
kata Camus, duduk di sebelah sahabatnya.
Milo
hanya tersenyum tipis, menatap sahabatnya selama beberapa lama.
"Hei,"
kata Milo kemudian.
"Hmmm…?"
"Kita…,"
kata Milo seraya menghela napas. "…tetap bersahabat selamanya,
ya…"
Camus
balik memandang Milo. Kok tiba-tiba…? Ia menatap mata biru
sahabatnya yang terlihat menyimpan kepedihan, tapi juga kasih sayang.
Semakin lama dia memandangnya, semakin terasa haru di hatinya.
Sesuatu yang jarang sekali Camus rasakan. Atau justru yang sering
sekali ia rasakan, tetapi selalu ia tahan.
"Ya…," jawab Camus setelah beberapa lama. Tiba-tiba dia tidak
ingin tahu lagi mengapa Milo mengatakan hal itu. "Selalu, Milo…"
"Selalu,"
Milo tersenyum. Dia merentangkan kedua tangannya. "Peluk, dong…"
Camus
tertawa lirih, membuat Milo berbinar. "Nggak, kayak anak kecil
aja," kata Camus.
"Ya
udah…," kata Milo, masih tersenyum, walau ada sedikit kekecewaan
di matanya. Seperti biasanya…
Tapi
kekecewaan itu hilang ketika Camus akhirnya memeluknya juga.
"Sekali
aja," kata Camus, tersenyum tipis.
Haru
itu semakin menusuk batin Milo…. Air mata panasnya akhirnya
tumpah…menetes membasahi rambut sahabatnya
.
Saya
lelah menjadi sahabat kamu…
Tapi
ternyata saya tidak bisa pergi meninggalkan kamu…
Karena
kamu sangat berarti bagi saya…
Karena
kebahagiaan saya melebihi rasa lelah saya…
Terima
kasih, bulir saljuku…
Karena
selain membuat saya lelah…kamu juga membuat saya bahagia…
The END
(* mengutip goresan seseorang..,)